Kitab Safinah bab puasa ini bahasannya sangat panjang, terdiri dari beberapa pasal. Oleh karena itu Saya membaginya menjadi beberapa sub bahasan atau beberapa artikel. Untuk bahasan pertama yang akan Saya bahas adalah pasal tentang perkara yang mewajibkan puasa Ramadhan.
Puasa Ramadhan wajib dilakukan jika ada salah satu dari 5 faktor di bawah ini yaitu :
1. Sempurna Bulan Sya’ban 30 hari
Misalnya dengan cara ru’yat Bulan Sya’ban. Siti ‘Aisyah r.a berkata bahwasanya Rasulullah selalu lebih berhati-hati atas datangnya Bulan Sya’ban melebihi kehati-hatian pada bulan lainnya. Dalil ini menunjukkan bahwa sempurnanya Bulan Sya’ban harus berdasarkan ru’yat bukan hisab.
2. Melihat hilal Bulan Ramadhan
Wajib puasa bagi seseorang yang melihat hilal walaupun dia bersifat fasiq. Melihat hilal itu akan diakui jika melihatnya saat malam hari, jadi jika melihatnya pada siang hari, maka tidak dianggap sah. Rasulullah bersabda : “Puasalah kalian setelah melihat hilal Ramadhan dan bukalah kalian setelah melihat hilal Syawal. Maka ketika awan menutupi pandangan kalian terhadap hilal Ramadhan, maka sempurnakanlah bilangan Bulan Sya’ban 30 hari.”
Hal itu juga berlaku terhadap hilal Bulan Syawal, jika hilal Syawal tak terlihat karena tertutup awan, maka sempurnakan Ramadhan 30 hari, demikian menurut Imam Suwayfi. Adapun tanda-tanda yang menunjukkan masuknya Bulan Ramadhan, maka tiap daerah punya ciri yang berbeda-beda, misalnya berwarna terangnya bunga-bunga yang biasa merambat di menara mesjid dan lain sebagainya.
3. Adanya ketetapan melihat hilal
Penetapan melihat hilal ini berlaku bagi mereka yang tidak melihat hilal dengan mempercayai seseorang yang melihat hilal yang adil dalam kesaksiannya walaupun orang tersebut punya keterbatasan dalam melihat, demikian menurut Suwayfi yang ditukil dari Syibro Amlasi.
Namun ketetapan ini harus melalui penetapan dari seorang hakim atau pemerintah, tanpa ada ketetapan yang sah dari pemerintah, maka pengakuan melihat hilal tersebut tidak dianggap sah walaupun dia bersikap adil dalam kesaksiannya.
Maka ketika kita telah melakukan puasa selama 30 hari berdasarkan ru’yat yang adil maka segeralah buka setelahnya walaupun tidak melihat hilal Syawal, walaupun tertutup awan.
Penetepan Ramadhan melalui kesaksian yang adil, dianggap sah walupun secara hisab, hilal tidak mungkin terlihat, demikian menurut Ibnu Qasim yang ditukil dari Imam Ramli dan merupakan pendapat paling kuat. Sedangkan menurut Imam Qalyubi, pendapat tersebut sangat lemah.
Al Marghani berkata, dalil yang menunjukkan ketetapan adil seseorang adalah seperti yang telah dinashkan dari Ibnu ‘Umar r.a, Saya memberitahukan Rasul SAW, sesungguhnya aku melihat hilal, lalu Nabi puasa dan memerintahkan manusia untuk berpuasa.
Adapun redaksi kesaksian itu harus dengan kata yang ada hubungannya dengan kesaksian misalnya Asyhadu, “ aku bersaksi bahwa aku melihat hilal”, walaupun tidak dibarengi dengan kata “sesungguhnya besok adalah Ramadhan”. Makna dari penetapan ini adalah mengetahui bahwa bulan tersebut sudah siap untuk dishaumi.
Sama halnya dengan puasa, begitu juga beberapa ibadah lainnya seperti wuquf yang dinisbatkan pada hilal Bulan Dzulhijjah.
Al Mudaabigh berkata, seandainya sifat adil dalam kesaksiannya tersebut ternyata sementara, artinya sifat tersebut menjadi tidak ada setelah hakim menetapkan ketetapan tersebut, maka mestilah kita tetap berpuasa dan berbukalah dengan menyempurnakan bulan walaupun tidak melihat hilal Bulan Syawal.
4. Berdasarkan berita yang adil dan terpercaya
Maksudnya berita tentang masuknya Ramadhan berasal dari kabar yang adil dalam periwayatnnya serta terpercaya, seperti dari suami, tetangga atau teman, demikian yang dicontohkan Imam Ziyadi.
Tidak ada syarat apakah berita terpercaya itu masuk ke dalam hati dan dibenarkan atau tidak. Selain itu, berita yang berasal dari orang yang tidak terpercaya pun bisa dianggap sah, seperti dari orang fasik jika memang hatii kita percaya dan membenarkannya. Oleh karena itu Al Mudabig berkata, wajiblah puasa bagi orang yang mendapat kabar dari orang terpercaya jika itikadnya sudah benar.
Jadi kata kuncinya adalah terpercaya walaupun orang yang memberitakannya adalah kafir atau fasiq atau hamba sahaya atau anak kecil sekali pun
Imam Suwaefi berkata bahwasanya mengitikadkan benarnya adalah terdiri dari 2 perkara yakni berita itu terpercaya dan mengitikadkan benarnya berita tersebut.
Imam Syarqowi berkata, jika yang melihatnya orang fasiq, sedangkan hakim tidak tahu akan kefasikannya, maka bolehlah menetapkan akan kesaksian tersebut.
5. Menyangka masuknya bulan Ramadhan
Maksudnya menyangka bahwa Ramadhan sudah masuk dengan cara ijtihad bagi mereka yang bingung masuknya awal Ramadhan, misalnya bagi mereka yang di penjara, tawanan perang dan lainnya, demikian menurut Al Mudaabigh.
Imam Al Bajuri berkata, Kalau seseorang merasa bingung dengan datangnya Ramadhan, lalu dia berijtihad, maka puasalah dengan hasil ijtihadnya. Jika ternyata waktunya tepat, maka puasanya dianggap puasa adaa, jika ternyata hasil ijtihadnya adalah sesudahnya, maka ter masuk qadha, jika hasilnya adalah sebelumnya, maka dianggap puasa sunat.
Kesimpulannya bahwa sebab wajibnya puasa ada 5. Yang dua masuk dalam kategori jalan awamnya manusia yaitu sempurna bulan Sya’ban 30 hari dan ketetapan ru’yatul hilal pada malam ke 30 bulan Sya’ban oleh hakim. Sedangkan yang 3 lagi termasuk kategori khusus.
Puasa itu tidak wajib dan tidak boleh jika berdasarkan ucapan ahli perbintangan yakni orang yang meyakini bahwa awal bulan itu berdasarkan terbitnya bintang anu, namun wajib mengamalkannya bagi dia sendiri yang melakukan perhitungannya.
Begitu juga bagi orang yang membenarkannya, maka wajib mengamalkannya. Hal ini sama dengan sholat, kalau meyakini sudah masuk waktu sholat, maka segera lakukan sholat.
Sama halnya dengan ahli nujum, yakni orang yang melakukan hisab yakni orang yang menentukan waktu berdasarkan perjalanan bulan.
Tidak dianggap valid jika ada orang yang mengaku bermimpi dengan Nabi dan Nabi mengkabarkan bahwa awal Ramadhan sudah tiba, karena tidak adanya proses melihat.
Dan ketika melihat hilal di suatu tempat, maka hukum awalnya Ramadhan juga berlaku bagi tempat yang dekat dari situ dalam satu matla’, yakni terbenamnya matahari dan bintang serta terbitnya dalam 2 tempat tetapi dalam waktu yang sama. Ini menurut pendapat ulama falaq. Sedangkan menurut ulama fiqih adalah perjalanan antara 2 tempat sepanjang 24 farsakh dari arah mana saja.
Perlu diketahui bahwasanya ketika hilal telah terlihat di daerah timur, maka otomatishilal di daerah barat juga sudah terlihat, namun tidak berlaku sebaliknya.
Ketika seseorang yang masih puasa berjalan menuju tempat yang sangat jauh dari tempat dia yang sudah terlihat hilal, lalu mendapati di tempat tujuannya masih puasa, maka dia wajib puasa sama halnya dengan masyarakat di daerah tersebut walaupun bilangan puasa dia sudah 30 hari.
Sebaliknya jika seseorang yang datang dari jauh menuju ke tempat yang sudah terlihat hilal, maka dia wajib berbuka bersama mereka dan wajib mengqadha sehari kalau bilangan puasa dia hanya 28 hari. Kalau bilangan puasa dia sudah 29 hari, maka tidak perlu qadha.
Hukum ini juga berlaku bukan pada puasa saja namun juga berlaku untuk masalah lain seperti sholat, sehingga kalau sholat maghrib di suatu tempat lalu melakukan perjalanan ke tempat lain dan mendapati di tempat lain belum shalat maghrib, maka dia wajib shalat maghrib lagi.
Fasal selanjutnya tentang syarat wajib puasa Ramadhan. Artikel lain yang sering dicari :
- bab puasa kitab fathul mu in
- bab puasa lengkap
- terjemahan kitab safinah lengkap
- kitab safinah bahasa sunda
- terjemah kitab safinatun najah lengkap
- kitab safinah bahasa jawa
Sumber :
Kaasyifatus Sajaa, hal. 114-116
Puasa Ramadhan wajib dilakukan jika ada salah satu dari 5 faktor di bawah ini yaitu :
1. Sempurna Bulan Sya’ban 30 hari
Misalnya dengan cara ru’yat Bulan Sya’ban. Siti ‘Aisyah r.a berkata bahwasanya Rasulullah selalu lebih berhati-hati atas datangnya Bulan Sya’ban melebihi kehati-hatian pada bulan lainnya. Dalil ini menunjukkan bahwa sempurnanya Bulan Sya’ban harus berdasarkan ru’yat bukan hisab.
2. Melihat hilal Bulan Ramadhan
Wajib puasa bagi seseorang yang melihat hilal walaupun dia bersifat fasiq. Melihat hilal itu akan diakui jika melihatnya saat malam hari, jadi jika melihatnya pada siang hari, maka tidak dianggap sah. Rasulullah bersabda : “Puasalah kalian setelah melihat hilal Ramadhan dan bukalah kalian setelah melihat hilal Syawal. Maka ketika awan menutupi pandangan kalian terhadap hilal Ramadhan, maka sempurnakanlah bilangan Bulan Sya’ban 30 hari.”
Hal itu juga berlaku terhadap hilal Bulan Syawal, jika hilal Syawal tak terlihat karena tertutup awan, maka sempurnakan Ramadhan 30 hari, demikian menurut Imam Suwayfi. Adapun tanda-tanda yang menunjukkan masuknya Bulan Ramadhan, maka tiap daerah punya ciri yang berbeda-beda, misalnya berwarna terangnya bunga-bunga yang biasa merambat di menara mesjid dan lain sebagainya.
3. Adanya ketetapan melihat hilal
Penetapan melihat hilal ini berlaku bagi mereka yang tidak melihat hilal dengan mempercayai seseorang yang melihat hilal yang adil dalam kesaksiannya walaupun orang tersebut punya keterbatasan dalam melihat, demikian menurut Suwayfi yang ditukil dari Syibro Amlasi.
Namun ketetapan ini harus melalui penetapan dari seorang hakim atau pemerintah, tanpa ada ketetapan yang sah dari pemerintah, maka pengakuan melihat hilal tersebut tidak dianggap sah walaupun dia bersikap adil dalam kesaksiannya.
Maka ketika kita telah melakukan puasa selama 30 hari berdasarkan ru’yat yang adil maka segeralah buka setelahnya walaupun tidak melihat hilal Syawal, walaupun tertutup awan.
Penetepan Ramadhan melalui kesaksian yang adil, dianggap sah walupun secara hisab, hilal tidak mungkin terlihat, demikian menurut Ibnu Qasim yang ditukil dari Imam Ramli dan merupakan pendapat paling kuat. Sedangkan menurut Imam Qalyubi, pendapat tersebut sangat lemah.
Al Marghani berkata, dalil yang menunjukkan ketetapan adil seseorang adalah seperti yang telah dinashkan dari Ibnu ‘Umar r.a, Saya memberitahukan Rasul SAW, sesungguhnya aku melihat hilal, lalu Nabi puasa dan memerintahkan manusia untuk berpuasa.
Adapun redaksi kesaksian itu harus dengan kata yang ada hubungannya dengan kesaksian misalnya Asyhadu, “ aku bersaksi bahwa aku melihat hilal”, walaupun tidak dibarengi dengan kata “sesungguhnya besok adalah Ramadhan”. Makna dari penetapan ini adalah mengetahui bahwa bulan tersebut sudah siap untuk dishaumi.
Sama halnya dengan puasa, begitu juga beberapa ibadah lainnya seperti wuquf yang dinisbatkan pada hilal Bulan Dzulhijjah.
Al Mudaabigh berkata, seandainya sifat adil dalam kesaksiannya tersebut ternyata sementara, artinya sifat tersebut menjadi tidak ada setelah hakim menetapkan ketetapan tersebut, maka mestilah kita tetap berpuasa dan berbukalah dengan menyempurnakan bulan walaupun tidak melihat hilal Bulan Syawal.
4. Berdasarkan berita yang adil dan terpercaya
Maksudnya berita tentang masuknya Ramadhan berasal dari kabar yang adil dalam periwayatnnya serta terpercaya, seperti dari suami, tetangga atau teman, demikian yang dicontohkan Imam Ziyadi.
Tidak ada syarat apakah berita terpercaya itu masuk ke dalam hati dan dibenarkan atau tidak. Selain itu, berita yang berasal dari orang yang tidak terpercaya pun bisa dianggap sah, seperti dari orang fasik jika memang hatii kita percaya dan membenarkannya. Oleh karena itu Al Mudabig berkata, wajiblah puasa bagi orang yang mendapat kabar dari orang terpercaya jika itikadnya sudah benar.
Jadi kata kuncinya adalah terpercaya walaupun orang yang memberitakannya adalah kafir atau fasiq atau hamba sahaya atau anak kecil sekali pun
Imam Suwaefi berkata bahwasanya mengitikadkan benarnya adalah terdiri dari 2 perkara yakni berita itu terpercaya dan mengitikadkan benarnya berita tersebut.
Imam Syarqowi berkata, jika yang melihatnya orang fasiq, sedangkan hakim tidak tahu akan kefasikannya, maka bolehlah menetapkan akan kesaksian tersebut.
5. Menyangka masuknya bulan Ramadhan
Maksudnya menyangka bahwa Ramadhan sudah masuk dengan cara ijtihad bagi mereka yang bingung masuknya awal Ramadhan, misalnya bagi mereka yang di penjara, tawanan perang dan lainnya, demikian menurut Al Mudaabigh.
Imam Al Bajuri berkata, Kalau seseorang merasa bingung dengan datangnya Ramadhan, lalu dia berijtihad, maka puasalah dengan hasil ijtihadnya. Jika ternyata waktunya tepat, maka puasanya dianggap puasa adaa, jika ternyata hasil ijtihadnya adalah sesudahnya, maka ter masuk qadha, jika hasilnya adalah sebelumnya, maka dianggap puasa sunat.
Kesimpulannya bahwa sebab wajibnya puasa ada 5. Yang dua masuk dalam kategori jalan awamnya manusia yaitu sempurna bulan Sya’ban 30 hari dan ketetapan ru’yatul hilal pada malam ke 30 bulan Sya’ban oleh hakim. Sedangkan yang 3 lagi termasuk kategori khusus.
Puasa itu tidak wajib dan tidak boleh jika berdasarkan ucapan ahli perbintangan yakni orang yang meyakini bahwa awal bulan itu berdasarkan terbitnya bintang anu, namun wajib mengamalkannya bagi dia sendiri yang melakukan perhitungannya.
Begitu juga bagi orang yang membenarkannya, maka wajib mengamalkannya. Hal ini sama dengan sholat, kalau meyakini sudah masuk waktu sholat, maka segera lakukan sholat.
Sama halnya dengan ahli nujum, yakni orang yang melakukan hisab yakni orang yang menentukan waktu berdasarkan perjalanan bulan.
Tidak dianggap valid jika ada orang yang mengaku bermimpi dengan Nabi dan Nabi mengkabarkan bahwa awal Ramadhan sudah tiba, karena tidak adanya proses melihat.
Dan ketika melihat hilal di suatu tempat, maka hukum awalnya Ramadhan juga berlaku bagi tempat yang dekat dari situ dalam satu matla’, yakni terbenamnya matahari dan bintang serta terbitnya dalam 2 tempat tetapi dalam waktu yang sama. Ini menurut pendapat ulama falaq. Sedangkan menurut ulama fiqih adalah perjalanan antara 2 tempat sepanjang 24 farsakh dari arah mana saja.
Perlu diketahui bahwasanya ketika hilal telah terlihat di daerah timur, maka otomatishilal di daerah barat juga sudah terlihat, namun tidak berlaku sebaliknya.
Ketika seseorang yang masih puasa berjalan menuju tempat yang sangat jauh dari tempat dia yang sudah terlihat hilal, lalu mendapati di tempat tujuannya masih puasa, maka dia wajib puasa sama halnya dengan masyarakat di daerah tersebut walaupun bilangan puasa dia sudah 30 hari.
Sebaliknya jika seseorang yang datang dari jauh menuju ke tempat yang sudah terlihat hilal, maka dia wajib berbuka bersama mereka dan wajib mengqadha sehari kalau bilangan puasa dia hanya 28 hari. Kalau bilangan puasa dia sudah 29 hari, maka tidak perlu qadha.
Hukum ini juga berlaku bukan pada puasa saja namun juga berlaku untuk masalah lain seperti sholat, sehingga kalau sholat maghrib di suatu tempat lalu melakukan perjalanan ke tempat lain dan mendapati di tempat lain belum shalat maghrib, maka dia wajib shalat maghrib lagi.
Fasal selanjutnya tentang syarat wajib puasa Ramadhan. Artikel lain yang sering dicari :
- bab puasa kitab fathul mu in
- bab puasa lengkap
- terjemahan kitab safinah lengkap
- kitab safinah bahasa sunda
- terjemah kitab safinatun najah lengkap
- kitab safinah bahasa jawa
Sumber :
Kaasyifatus Sajaa, hal. 114-116
BACA JUGA : 5 Rekomendasi Kitab Safinah